
Jakarta || Konflik pemasangan baliho GP (kandidat Capres partai berwarna merah) di lokasi instansi militer, belakangan ini menjadi perbincangan hangat, dan atas permasalahan tersebut, Pemerhati Politik dan Kebangsaan, M Rizal Fadilah angkat bicara. Dalam hal ini Rizal Fadilah menilai bahwa, "Pencopotan baliho tersebut, justru TNI menjaga kenetralitasan dalam menjelang tahun politik Februari 2024 mendatang," terang M Rizal Fadilah, baru baru ini.
Pemasangan baliho bernuansa kampanye, masih kata Rizal, pendukung GP harusnya memahami ini, dan ini adalah suatu pembelajaran. Jangan memasang baliho yang bernuansa kampanye di lokasi instansi militer. "Merasa bahwa GP didukung PDIP jadi diduga semaunya memasang baliho," tandasnya.
Dan sikap Dandim 1013/MTW, lanjutnya, yang mencopot baliho itu menurut Kapuspen TNI Laksda Julius Widjojono adalah dalam rangka menjaga netralitas TNI.
"Upaya menjaga netralitas sudah sangat tepat sebab betapa bahaya negara jika TNI, dan juga Polri, terlibat dalam kegiatan politik praktis. Apalagi ikut dalam dukung mendukung salah satu Calon Presiden. TNI harus menjaga jarak yang sama dengan semua kandidat dan semua partai politik," ungkapnya.
Menurut UU No 34 tahun 2004 Pasal 2 butir (d) ditegaskan bahwa sebagai tentara profesional TNI 'Tidak Berpolitik Praktis, tidak berbisnis'.
"Sikap tepat Dandim Muara Teweh Barito Utara yang dibela Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menjadi contoh bagi daerah lainnya. Kita teringat sikap Pangdam III Siliwangi Mayjen Kunto Arief Wibowo yang mewanti-wanti pentingnya politik beretika. Memasang baliho GP di lokasi Makodim adalah berpolitik tidak beretika. Cermin dari mendudukan politik sebagai panglima. Bukan hukum dan etika," pungkasnya.
Rizal juga mengatakan apa yang dilakukan Tokoh GR yang diduga memprotes pencabutan baliho, karena katanya dengan pencabutan baliho GP justru TNI tidak netral. Argumen terbalik-balik. Teriak lantang bahwa yang berhak mencabut baliho adalah Satpol PP.
"Ngerti tidak ya bahwa baliho itu dipasang di lahan Makodim bukan di area umum. Jadi Kodim berhak untuk mencabut," tegasnya.
Berbeda dengan kasus cawe-cawe Pangdam Jaya dulu yaitu Mayjen TNI DA yang diduga mencabut baliho HRS yang terpasang di Petamburan, itu area Kantor FPI. Memang semestinya Satpol PP yang berhak mencabut, bukan DA. Hebatnya sang "Satpol" itu ternyata naik pangkat terus hingga menjadi Jenderal.
"Nah, mas GR seharusnya dulu teriak sekencengnya kepada Bapak DA, bukan sekarang dimana tindakan TNI yang mencabut baliho GP sudah sangat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. GP bukan tokoh yang berhak mendapat perlakuan istimewa. Dia Gubernur yang diduga sudah merasa jadi Presiden (Mimpi)," ujarnya.
PDIP sendiri tidak mesti disinyalir menekan TNI untuk pemasangan baliho GP. Sebaliknya harus menyadari akan kesalahannya. Kekuasaan tidak boleh disalahgunakan.
Dugaan PDIP punya catatan hitam, menurut Rizal, teranyar dengan menggiring BRIN yang Ketua Dewan Pengarahnya adalah pentolan PDIP. Yang disinyalir melakukan "penelitian" untuk menyukseskan GP dalam kaitan dengan kaum milenial. Penuh puja-puji untuk GP. Dari sisi etika maka diduga penggunaan badan penelitian negara untuk kepentingan politik seperti ini dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang tidak beretika.
Kembali ke baliho, lanjutnya, sikap Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang pasang badan untuk membela anak buahnya patut untuk mendapat acungan jempol. Berbeda dengan Panglima TNI terdahulu Jenderal Adk yang diduga telah menyudutkan anak buah soal persyaratan keturunan PKI. Jenderal Adk malah membela keturunan PKI untuk dapat menjadi prajurit TNI.
Sejarah kelam dugaan penghianatan PKI terhadap ideologi Pancasila diabaikan. PKI dianggap teman yang harus dikasihani dan disayangi.
Kini Jenderal TNI (Purn) Adk Pks bertugas untuk menjadi Tim Sukses Capres PDIP GP. Bahkan ia menyatakan siap untuk menjabat sebagai Ketua Tim Sukses.
Kisah TNI memang menarik. Dulu tahun 1965 TNI (ABRI) menjadi korban dari kejahatan PKI akan tetapi saat ini dengan Keppres No 17 tahun 2022 dan Inpres No 2 tahun 2023 serta Keppres No 4 tahun 2023 TNI yang justru disalahkan sebag pol d cnai pelanggar HAM berat terhadap aktivis dan keluarga PKI.
[pm rud]
0 comments:
Posting Komentar